Winner of Poetry in Malay
Gandoura
Jika yang dicari dalam puisi ialah nikmat pencarian dan penemuan makna, kumpulan puisi ini memberikan jawapannya. Kumpulan puisi yang mengandungi isu-isu kemanusiaan dari kutipan kehidupan seharian. Ada kisah yang disampaikan secara dramatik untuk memberi emosi dalam pengkaryaan dan menduga minda pembaca.
Gandoura
If what is sought in poetry is the pleasure of the search and discovery of meaning, this collection of poems provides the answer. Gandoura addresses issues of humanity and quotes from everyday life.
Ombak Scripthouse Production
2020
2020
Komen Panel Pengadil
Puisi-puisi dalam Gandoura mengundang pembaca mengembara disamping mengintrospeksi nilai kehidupan manusia. Semuanya dianyam begitu mulus dan lembut walaupun kadang ia meninggalkan kesan dramatik kerana berkesannya fungsi metafora dan simbolisma yang banyak digunakan oleh penulis.
Sajak-sajak perjalanan ini diibaratkan sebagai bung-bunga yang sudah dirawat rapi di makmal kebun puisi. Ia bercambah, dirungkai dengan gugusan kata-kata dan larik bahasa yang indah. Kadang-kadang ia memberikan suatu cerita yang berlandaskan premis sosial dan sejarah, walau kecil tapi besar dalam aspek falsafah kehidupan. Sajak-sajak beliau penuh dengan peristiwa, kejadian dan penghargaan yang begitu tinggi terhadap warisan seni dan budaya Melayu. Kenangan penulis adalah kenangan bangsanya yang menguak jauh ke alam falsafah hidup yang dianyam semula menjadi tikar budaya dan sejarah bangsa, kadang tidak lagi terpandang di mata generasi muda.
Begitu juga sajak-sajak beliau tentang janji, penantian dan cinta yang mengandungi sensualiti yang tersembunyi tapi menggetarkan rasa pembaca. Ini disebabkan kesopanan penulis Hartinah yang bijak berselindung di sebalik berbantal lengan, sejat keringat, rambut basah, kunci kamar dan sepit rambut.
Walaupun dia menulis dari pelosok yang telah dilupakan di Singapura, setiap bunga, daun, pasir dan permainan menjadi warisan bangsanya. Walaupun dia menulis dari langit dan sungai di rantauan (negeri orang) setiap musim, peristiwa, lagu dan tarian membangkitkan kesedaran atas kemanusiaan yang membumi di tanah yang didiami bangsa bernama Melayu.
Kesan perjalanan terjelma melalui Gandoura. Negara-negara yang dijejaki antaranya Indonesia, Turki, India, Korea, Malaysia dan beberapa lagi. Banyak tempat disinggahi, dan di tempat-tempat ini muncul karya. Karya mencatatkan pergalaman serta pemerhatian. Ini kebiasaan bagi setiap pengembara. Di dalam catatan disuntik rasa. Lebih jauh lagi apabila nostalgia dan serangkaian tafsiran mengiringinya juga. Renungan menjadi mahal dalam berpuisi. Sajak-sajak menjadi indah oleh semua himpunan pengalaman, pemerhatian, nostalgia dan renungan ini. Penyajak tidak hanya mengungkapkan begitu sahaja, ada nilai yang berakar dalam subjek yang dibangunkan. Subjek yang rencam yang terkumpul bagaimanapun tambah diwarnawarnikan dengan deretan konfesi peribadi penyajaknya dalam memadukan seluruh karya. Setiap catatn melarikkan tafsir juga. Tafsir inilah yang meninggalkan bebas kepada pembaca, yakni kesan estetik dan nilai makna. Sesekali penyajak berfalsafah. Melaluinya terpancar ketinggian cipta seni olahan berbagai-bagai rona jiwa dan sukma manusia. Penyajak memanfaatkan sarana sastera dengan serapi yang mungkin. Semuanya disulam dengan tenang dan terkawal tanpa terpaan emosi yang mengurangi kehalusan teks. Sarana sastera yang dianjakkan melalui cubaan-cubaan yang baharu seumpama penciptaan ungkapan hatta anjakan dalam penggunaan kata atau diksi meletakkan karya ke aras segar selain memperlihatkan cubaan untuk mencipta idiosinkrasi. Melihat semua ini, tidak diragukan Gandoura memiliki kekuatan yang mencakupi subjek atau pemikiran, manipulasi sarana sastera dan sulaman estetik yang terpuji.
Salah satu puisi Hartinah Ahmad dalam kumpulan dengan nama yang sama, yang sangat jelas menampilkan gurat-gurat wajah kepenyairannya yang mengucapkan dirinya sebagai seorang perempuan. Sajak-sajaknya yang berangkat dari inti diri sendiri, yang banyak menampilkan perasaan keperempuanannya dalam berbagai aspeknya, diucapkan dengan bahasa yang sahaja, lugas dan jernih. Paling tidak, inilah senjata dan sekaligus kekuatan Hartinah Ahmad berpuisi yang utama.
Puisi-puisi: SEPASANG KELEKATU TAK BERSAYAP; MAHLIGAI; KEKASIH; ALBUM WARISAN BUDI; SEKUNTUM BUNGA KECILBIRU DI LANDASAN KERETA API TANAH MELAYU dan JAM DI DINDING KAMAR Membaca puisi-puisi Hartinah, rasanya seperti mendengarkan orang bertutur kepada orang lain, dan kepada diri sendiri. Mengingatkan kita kepada kefasihan dan penuh pertimbangan orang Melayu dan orang kampung saya di Minangkabau, yang secara spontan seperti menyelipkan butir-butir pasir, nada-nada pantun, petatah petitih. Imaji-imajinya sederhana namun pas dan ambiguous. melodius, melankolik, pada saat-saat tertentu menjadi tragik, tanpa kehilangan rasa dekat dengan alam dan orang lain, bahkan dengan Tuhan.
Dalam hampir semua puisinya dalam buku kumpulan GANDOURA sebenarnya Hartinah Ahmad menyatakan dirinya sebagai salah seorang yang hidup dan menghayati kehidupan dan khawatir gelisah zaman modern.
Judges' Comments
The impact of a journey is manifested through Gandoura. The countries travelled are Indonesia, Turkey, India, Korea, Malaysia and a few more. Many places are visited, and at these places, something is created. Each piece is a record of experience and observation. This is the norm for every traveller. Each note is imbued with emotion. Even more so when nostalgia and connected interpretations intertwine with it. Reflection becomes invaluable when writing poetry. Poems become beautiful when experience, observation, nostalgia, and reflection coalesce. The poet does not simply utter words; something of value is entwined within the articulated subject. The subjects are varied and tinged with hues of the poet’s personal confessions that unify the poems. Each note allows readers the freedom to shape their own interpretation, in terms of meaning and aesthetic impact. At times, the poet is philosophical. These musings reflect the poet’s outstanding creativity in weaving a multitude of hues of life and the human spirit. The poet utilises various literary devices as thoroughly as possible. Everything is embroidered in a calm and controlled manner, without jolts of emotion that diminish the finesse of the text. Literary devices are applied through experimentations such as new forms of expressions. Thus, the elevation in word use and diction places the work as one that is fresh, in addition to presenting an effort to invent idiosyncrasies.
From all the above, there is no doubt that Gandoura possesses strengths that include subjects or thoughts, manipulation of literary devices and commendable aesthetic embroidery. The poems within Gandoura invite the reader to travel and ruminate on the value of human life. Everything is woven so refined and soft, even though it sometimes leaves a dramatic impact due to the effectiveness of the writer's frequent use of metaphor and symbolism. These travel poems are likened to blossoms that have been carefully cultivated in the garden laboratory of poetry. They grow and untangle with clusters of words and lines of beautiful language. Sometimes they present a story based on social and historical premises, although small but substantial in the philosophical aspects of life.
Her poems are full of events, happenings, and a high appreciation of Malay artistic and cultural heritage. The writer's memories are the memories of a people that go deep into the realm of philosophy of life that are rewoven into a mat of their culture and history, sometimes no longer seen in the eyes of the younger generation. Similarly, her poems about promises, waiting, and love contain a concealed sensuality but still excite the reader's senses. This is due to the politeness of the writer Hartinah who cleverly hides behind arm pillows, sweat, damp hair, room keys and hairpins. Although she writes from a forgotten corner of Singapore, every flower, leaf, grain of sand,and play becomes her people's heritage. Although she writes from other people's skies and rivers, every season, event, song, and dance raises awareness of the humanity that flourishes in the lands inhabited by a people called Malay.
ABOUT THE AUTHOR
Hartinah binte Ahmad
Mula menulis pada tahun 1971. Menulis lebih dari 150 lirik. Skrip drama untuk saluran TV SURIA sejak tahun 1982. Penerbitan solo; Gandoura, Senja Merah. Memenangi Anugerah Pena Emas (Puisi) pada tahun 2013, 2017, 2019. Memenangi Hadiah Sastera Singapura pada tahun 2016 dan Anugerah Persuratan (2017).
Hartinah binte Ahmad
Hartinah Ahmad has been writing since 1971. She has written more than 150 lyrics and has been writing television drama scripts since 1982. Her books include Gandoura and Senja Merah. She received the Golden Point Award in 2013, 2017 and 2019, the Singapore Literature Prize in 2016, and Anugerah Persuratan in 2017.